Hotel Kapok - Beijing |
Sejak awal tahun 2012, saya sudah berjanji pada dua anak
saya bahwa saya tidak akan pergi meninggalkan Sangata kecuali kalau darurat
atau berlibur bersama mereka. Tapi sulit ya, karena saya bekerja dan kerjaan kadang
menuntut saya untuk bertemu atau pergi dengan kolega keluar Sangata, bahkan
keluar negeri.
Yang terakhir ini yang kadang bikin anak-anak saya manyun,
karena perginya biasanya makan waktu sampai seminggu, bahkan dua minggu. Saya
juga sedih sih, kangen anak, kangen makanan indo, lalu kangen anak lagi .....
tapi apa boleh buat, demi sesuap berlian ... :)
Pada Bulan Maret 2012, saya harus ke China untuk urusan
dinas. Dari awal rasanya berat sekali,
entah kenapa. Apalagi karena sebelum ke China saya harus menyelesaikan urusan
di Singapore, perjalanan yang harusnya hanya empat hari jadi molor seminggu. Untung
nya ada sih, saya dapat weekend di sana yang bisa saya pakai untuk jalan-jalan
sendiri di ibukota RRC ini.
Pagi itu di Beijing, setelah tidur secukupnya dan sarapan, saya
memutuskan berjalan kaki ke Tianamen Square (Lapangan Tianamen) dari hotel.
Menurut informasi pegawai hotel. Saya hanya perlu berjalan 15 menit saja untuk
sampai ke sana. Saya exciting sekali. Siapa yang tidak tahu di Tianamen Square
saat 20 tahun lalu terjadi demo mahasiswa besar-besaran dan saat itu juga banyak
mahasiswa yang menjadi korban penindakan dari penguasa komunis negara ini.
Udara pagi itu dingin sekali, aneh ya ... padahal sudah
musim semi lho. Tapi saya ngotot aja jalan sesuai arah di peta. Setelah
berjalan 10 menit, ada sebuah becak cina yang mengikuti saya. Becak di Beijing memakai
sepeda seperti di Indonesia, tapi tempat duduk penumpang terletah di belakang
supirnya dan tidak pakai penutup.
Pengendara becak itu tidak bosen-bosennya menwarkan saya ‘Tianaman
Square ... three yuan ...’. Karena kasihan, akhirnya saya setuju naik becaknya.
Lagian tiga yuan kan cuma sekita 5,000 rupiah. Saat sudah diatas becak saya
konfrimas lagi ke tukang becak nya ‘Three yuan right?’ tanya saya. Si tukang becak bilang. ‘No no
... thirty yuan ..” katanya sambil menunjukan dengan jari nya angka tiga dan
angka nol.
Dengan pertimbanngan saya
udah diatas becak sekitar tiga menit, saya maklum aja kalau rate becak naik 10
kali lipat dari tiga yuan ke tiga puluh yuan. Cuma 50,000 rupiah, nggak papa,
kata saya dalam hati.
Di tengah jalan, tukang becak saya stop dan diganti oleh
tukang becak yang baru. Saya sempat bingung, tapi si tukang becak baru bilang ‘ok,
ok’ .... jadi saya manut aja. Saya mulai was-was saat becak masuk ke jalan
kecil yang sempit. Tidak ada orang dan kendaraan yang lewat. Lalu saya diminta
turun dan tukang becak menunjuk ke satu gerbang dekat saya samba bilang ‘Tianamen
Square’.
Saya mengeluarkan uang tiga puluh yuan dan menyerahkan ke si
tukang. Eh, dia menolak dan bilang ‘Three hundred yuan ...’ . Saya ngoto bahwa
janjinya tiga puluh, bukan tiga ratus. Ngapain saya bayar tukang becak 500,000
rupiah ....
Si tukang becak ngotot juga sambil memperlihat kan daftar
harga lengkap dengan foto rekan-rekan banditnya sesame tukang becak. Disitu tertulis
300 yuan. Saya yakin itu palsu. Tapi saya lihat sekeliling yang sepi, siapa
yang bisa jamin tukang becak ini ngak bisa kung fu atau pencak silat?? Dengan
pertimbangan keselamatan, akhir saya bayar uang yang dia minta sambil
memperkenalkan dia pada nama-nama penghuni neraka dalam bahasa Indonesia dan
bahasa inggris!
Kesal kena tipu, kurang tidur dan cape jalan kaki, saya
tidak menikmati kunjungan ke Tianamen Square. Yang saya dapat cuma ini.
Tianamen Square |
Sebenarnya saya bisa langsung pergi ke Forbidden City (Kota
Terlarang) yang terletak satu kompleks dengan Tianamen Square. Pengen deh
kesana, apalagi saya pernah lihat tempatnya di film ‘The Last Emperor’ yang
menang banyak Oscar itu.
Tapi saya malah kena flu, jadi saya putuskan kembali ke
hotel. Padahal masih siang lho. Dan dari siang itu, sampai pagi hari berikut
nya saya hanya berkeram di kamar, istirahat dan minum obat. Saya harus sehat
hari berikutnya, karena ngak mau ketinggalan untuk melihat the Great Wall
(Tembok Besar).
Hari minggu, dengan kepala setengah puyeng, saya memaksakan
diri ikut tour naik bis ke Tembok China. Saya maksa diri sendiri karena saya
tahu, dari tur delapan jam ini, paling wisatawan akan ada di tempat wisata
hanya tiga jam. Sisanya dihabiskan untuk waktu perjalanan di atas bis dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Lima jam .... lima jam tidur pulas di atas bis. Dengan flu
dan pilek saya, kebayang keributan yang saya timbulkan saat tidur .... rrrrrrr .....zzzzz
..... rrrrrr..... kasihan penumpanng lainnya :)
Saya ikut turun di Makam Dynasty Ming (Ming Tomb). Makamnya
da dibawah tanah, maunya seperti makam Firaun kali ya .... tapi menurut saya tidak menarik. Ngak bagus, dan
juga sudah tidak otentik. Tangga nya tinggi dan tidak ada lift. Kalo bawa orang
tua kasian ....
Nah, kalo tembok China memang bagus .... Kami mengunjungi Great
Wall Mutianyu atau Tembok Besar di bagian Mutianyu. Tembok Besar terletak di
atas bukit, dan berkunjung ke bagian Mutianyu adalah pilihan yang bagus karena untuk naik ke bukit
dimana Tembok Besar berada, kita bisa naik Chair Lift.
Dari jauh saja sudah kelihatan keagungan tembok ini. Seperti
ular besar diatas bukit. Ngak kebayang bagaimana seribu tahun yang lalu
orang-orang disana bisa membangun bangunan ke ‘grandeur’ ini.
Dan ini hasil foto yang saya dapat. Ngak rugi maksain ke
sini walau kepala rasanya udah mau ngegelundung .....
The Great Great Wall of China |
Itu sekelumit kenangan saya di Beijing. Kalo ditawarin ke
sana lagi kayaknya saya harus bilang ‘Ndak deh ...’. Kenangan buruk ama tukang
becak (Benar-benar menyinggung kecerdasan saya ....he he ..) dan banyak orang sana yang
agak kasar bikin saya kapok. Lagian saya udah megang Tembok Besar .... mau liat
apalagi?
Seperti nama hotel yang saya tampilkan di pembuka tulisan
ini .... ‘Kapok’ .......
(Mohon maaf bila tulisan saya menyinggung beberapa pihak, tapi ini kisah nyata lho .....).