Saturday, July 14, 2012

DITIPU TUKANG BECAK (Beijing, China – March 2012)


Hotel Kapok - Beijing
Sejak awal tahun 2012, saya sudah berjanji pada dua anak saya bahwa saya tidak akan pergi meninggalkan Sangata kecuali kalau darurat atau berlibur bersama mereka. Tapi sulit ya, karena saya bekerja dan kerjaan kadang menuntut saya untuk bertemu atau pergi dengan kolega keluar Sangata, bahkan keluar negeri.
Yang terakhir ini yang kadang bikin anak-anak saya manyun, karena perginya biasanya makan waktu sampai seminggu, bahkan dua minggu. Saya juga sedih sih, kangen anak, kangen makanan indo, lalu kangen anak lagi ..... tapi apa boleh buat, demi sesuap berlian ... :)

Pada Bulan Maret 2012, saya harus ke China untuk urusan dinas.  Dari awal rasanya berat sekali, entah kenapa. Apalagi karena sebelum ke China saya harus menyelesaikan urusan di Singapore, perjalanan yang harusnya hanya empat hari jadi molor seminggu. Untung nya ada sih, saya dapat weekend di sana yang bisa saya pakai untuk jalan-jalan sendiri di ibukota RRC ini.

Pagi itu di Beijing, setelah tidur secukupnya dan sarapan, saya memutuskan berjalan kaki ke Tianamen Square (Lapangan Tianamen) dari hotel. Menurut informasi pegawai hotel. Saya hanya perlu berjalan 15 menit saja untuk sampai ke sana. Saya exciting sekali. Siapa yang tidak tahu di Tianamen Square saat 20 tahun lalu terjadi demo mahasiswa besar-besaran dan saat itu juga banyak mahasiswa yang menjadi korban penindakan dari penguasa komunis negara ini.

Udara pagi itu dingin sekali, aneh ya ... padahal sudah musim semi lho. Tapi saya ngotot aja jalan sesuai arah di peta. Setelah berjalan 10 menit, ada sebuah becak cina yang mengikuti saya. Becak di Beijing memakai sepeda seperti di Indonesia, tapi tempat duduk penumpang terletah di belakang supirnya dan tidak pakai penutup.

Pengendara becak itu tidak bosen-bosennya menwarkan saya ‘Tianaman Square ... three yuan ...’. Karena kasihan, akhirnya saya setuju naik becaknya. Lagian tiga yuan kan cuma sekita 5,000 rupiah. Saat sudah diatas becak saya konfrimas lagi ke tukang becak nya ‘Three yuan right?’  tanya saya. Si tukang becak bilang. ‘No no ... thirty yuan ..” katanya sambil menunjukan dengan jari nya angka tiga dan angka nol.   

Dengan pertimbanngan saya udah diatas becak sekitar tiga menit, saya maklum aja kalau rate becak naik 10 kali lipat dari tiga yuan ke tiga puluh yuan. Cuma 50,000 rupiah, nggak papa, kata saya dalam hati.
Di tengah jalan, tukang becak saya stop dan diganti oleh tukang becak yang baru. Saya sempat bingung, tapi si tukang becak baru bilang ‘ok, ok’ .... jadi saya manut aja. Saya mulai was-was saat becak masuk ke jalan kecil yang sempit. Tidak ada orang dan kendaraan yang lewat. Lalu saya diminta turun dan tukang becak menunjuk ke satu gerbang dekat saya samba bilang ‘Tianamen Square’.

Saya mengeluarkan uang tiga puluh yuan dan menyerahkan ke si tukang. Eh, dia menolak dan bilang ‘Three hundred yuan ...’ . Saya ngoto bahwa janjinya tiga puluh, bukan tiga ratus. Ngapain saya bayar tukang becak 500,000 rupiah ....  

Si tukang becak ngotot juga sambil memperlihat kan daftar harga lengkap dengan foto rekan-rekan banditnya sesame tukang becak. Disitu tertulis 300 yuan. Saya yakin itu palsu. Tapi saya lihat sekeliling yang sepi, siapa yang bisa jamin tukang becak ini ngak bisa kung fu atau pencak silat?? Dengan pertimbangan keselamatan, akhir saya bayar uang yang dia minta sambil memperkenalkan dia pada nama-nama penghuni neraka dalam bahasa Indonesia dan bahasa inggris!

Kesal kena tipu, kurang tidur dan cape jalan kaki, saya tidak menikmati kunjungan ke Tianamen Square. Yang saya dapat cuma ini.
Tianamen Square
 Sebenarnya saya bisa langsung pergi ke Forbidden City (Kota Terlarang) yang terletak satu kompleks dengan Tianamen Square. Pengen deh kesana, apalagi saya pernah lihat tempatnya di film ‘The Last Emperor’ yang menang banyak Oscar itu. 

Tapi saya malah kena flu, jadi saya putuskan kembali ke hotel. Padahal masih siang lho. Dan dari siang itu, sampai pagi hari berikut nya saya hanya berkeram di kamar, istirahat dan minum obat. Saya harus sehat hari berikutnya, karena ngak mau ketinggalan untuk melihat the Great Wall (Tembok Besar).
Hari minggu, dengan kepala setengah puyeng, saya memaksakan diri ikut tour naik bis ke Tembok China. Saya maksa diri sendiri karena saya tahu, dari tur delapan jam ini, paling wisatawan akan ada di tempat wisata hanya tiga jam. Sisanya dihabiskan untuk waktu perjalanan di atas bis dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Lima jam .... lima jam tidur pulas di atas bis. Dengan flu dan pilek saya, kebayang keributan yang saya timbulkan saat tidur .... rrrrrrr .....zzzzz ..... rrrrrr..... kasihan penumpanng lainnya :)

Saya ikut turun di Makam Dynasty Ming (Ming Tomb). Makamnya da dibawah tanah, maunya seperti makam Firaun kali ya .... tapi menurut saya tidak menarik. Ngak bagus, dan juga sudah tidak otentik. Tangga nya tinggi dan tidak ada lift. Kalo bawa orang tua kasian ....

Nah, kalo tembok China memang bagus .... Kami mengunjungi Great Wall Mutianyu atau Tembok Besar di bagian Mutianyu. Tembok Besar terletak di atas bukit, dan berkunjung ke bagian Mutianyu adalah  pilihan yang bagus karena untuk naik ke bukit dimana Tembok Besar berada, kita bisa naik Chair Lift.

Dari jauh saja sudah kelihatan keagungan tembok ini. Seperti ular besar diatas bukit. Ngak kebayang bagaimana seribu tahun yang lalu orang-orang disana bisa membangun bangunan ke ‘grandeur’ ini.

Dan ini hasil foto yang saya dapat. Ngak rugi maksain ke sini walau kepala rasanya udah mau ngegelundung .....
The Great Great Wall of China

 Itu sekelumit kenangan saya di Beijing. Kalo ditawarin ke sana lagi kayaknya saya harus bilang ‘Ndak deh ...’. Kenangan buruk ama tukang becak (Benar-benar menyinggung kecerdasan saya ....he he ..) dan banyak orang sana yang agak kasar bikin saya kapok. Lagian saya udah megang Tembok Besar .... mau liat apalagi?

Seperti nama hotel yang saya tampilkan di pembuka tulisan ini .... ‘Kapok’ .......

(Mohon maaf bila tulisan saya menyinggung beberapa pihak, tapi ini kisah nyata lho .....).